Halaman

Alohomora

ALOHOMORA

Sabtu, 14 Februari 2015

1st Appetizer Essay: “Hubungan Misterius” Antara Membaca & Menulis



1st Appetizer Essay

“Hubungan Misterius” Antara Membaca & Menulis
by: Friska Maulani Dewi

Menulis sangatlah penting untuk dilakukan setiap orang.  Dengan menulis seseorang bisa melakukan komunikasi dengan orang lain melalui media yang berupa bahasa tulis.  Bahkan Ahmadi (1990) mendefinisikan “Menulis merupakan suatu perbuatan atau kegiatan komunikatif antara si penulis dan si pembaca.” (Lia, 2007).  Menulis sendiri dibagi menjadi beberapa jenis, seperti menulis surat, menulis karangan ataupun menulis karya ilmiah.

Idealnya jika setiap orang sudah terbiasa dengan melakukan komunikasi melalui bahasa tulis (menulis), maka mereka pasti sudah ahli dalam dunia tulis-menulis.  Namun, fakta yang ada di lapangan sangatlah mengejutkan sekaligus juga mengecewakan.  Ternyata, masih banyak orang Indonesia yang tidak bisa menulis.  Yang lebih mencengangkan lagi, banyak diantaranya merupakan mahasiswa, sarjana lulusan PT atau bahkan para dosennya pun mayoritas masih tidak bisa menulis. (A.Chaedar Alwasilah, Pikiran Rakyat, 28 Februari 2012).  Hal ini sungguh memprihatinkan bagi bangsa Indonesia.  Lalu, apa sih penyebab di balik “penyakit” ini?
Pada dasarnya, mahasiswa dituntut untuk bisa menulis.  Namun, tentunya bukan hanya sembarang menulis saja.  Mereka harus mampu mengajukan sudut pandang baru dalam bentuk kesimpulan, rumus ataupun teori untuk memperkaya dunia pengetahuan.  Dengan menulis skripsi mahasiswa belajar menulis akademik, dengan menulis tesis mahasiswa belajar meneliti, dan dengan disertasi mahasiswa membangun teori ataupun rumus baru. (A.Chaedar Alwasilah, Pikiran Rakyat, 28 Februari 2012)
Namun sayangnya, kurangnya minat para mahasiswa untuk membaca menjadi tembok besar dan kokoh yang menghalangi “impian-impian mahasiswa” tersebut.  Loh, mengapa kita jadi membahas tentang minat membaca?  Bukankah kita tadi sedang membahas tentang rendahnya kualitas menulis yang terjadi pada kalangan mahasiswa?  Jawabannya tentu saja karena kedua kegiatan tersebut, baik membaca maupun menulis ternyata memiliki “hubungan misterius yang spesial” yang saling mempengaruhi dan bahkan saling berkaitan erat satu sama lainnya.
Membaca merupakan referensi untuk menulis.  Dengan membaca kita dapat mengumpulkan informasi-informasi baru yang dibutuhkan dalam menulis.  Dengan menulis kita dapat menguraikan informasi-informasi baru tersebut dalam media bahasa tulis.  Seluas apakah pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang akan menentukan sejauh mana kekuatan orang tersebut dalam menulis.  Pengetahuan tersebut dapat kita peroleh apabila kita rajin membaca.  Jadi, bagaimana bisa seseorang menulis jika dia tidak suka membaca?  Akan sangat mustahil apabila seseorang bisa menulis kalau yang bersangkutan tidak suka membaca.
Kurangnya minat membaca ternyata banyak penyebabnya.  Seringkali banyak macam alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang kurang minat dalam membaca.  Pembaca sering mengatakan, “Saya tidak miliki latar belakang pengetahuan yang sepadan dengan si penulis”.  Mereka yang mengatakan demikian berpendapat bahwa keahlian sang penulis sangatlah tinggi dan melebihi kapasitas mereka sebagai “orang baru dalam dunia baca-tulis”.  Atau ada juga beberapa yang mengatakan, “Saya belum mencapai level si penulis itu. Levelnya terlalu tinggi untuk saya”.  Jika anda termasuk orang yang sering mengucapkan kalimat tersebut, berarti anda telah menjatuhkan level diri anda sendiri.  Apa anda mau seperti itu?
Namun, dari beberapa alasan yang sering terdengar untuk menjawab pertanyaan “Mengapa anda tidak/kurang berminat terhadap membaca?”, ada satu jawaban yang seringkali kita dengar dari si pembaca, yaitu: “Saya tidak bisa berkonsentrasi dan fokus ketika membaca, jadi saya merasa malas untuk membaca”.  Sungguh ironis mendengar jawaban seperti ini.  Setiap orang memang memiliki gaya membacanya masing-masing.  Jadi, jika anda termasuk kategori orang yang cerdas, anda pasti bisa tahu bagaiamana cara membaca yang tepat dan membuat anda nyaman sehingga anda bisa berkonsentrasi dengan baik terhadap bacaan yang sedang anda baca.
Alasan-alasan yang dikemukakan tadi terdengar sangat menyedihkan dan juga terkesan sangat mengada-ada.  Setiap orang (khususnya para mahasiswa) seharusnya bisa menjadi seorang pembaca yang kritis.  Pembaca yang kritis percaya bahwa terdapat hubungan tertentu antara si penulis dan juga si pembaca yang akan membentuk suatu arti dari sebuah bacaan itu sendiri.  Jika sewaktu-waktu ada pertanyaan “Ketika kamu sudah membaca suatu bacaan namun tetap tidak bisa mengerti tentang apa yang kamu baca, lalu apakah penyebabnya?”  Seorang pembaca kritis akan langsung menjawab dengan lantang “Itu karena si penulis tidak cukup berkompeten untuk menyampaikan ide-ide yang ada di dalam bacaan tersebut”.  Seorang pembaca yang kritis pasti akan bisa menangkap ide-ide yang disampaikan oleh si penulis seberapapun tingginya level si penulis tersebut.  Namun, tentunya seorang pembaca kritis tidak akan langsung menerima segala sesuatu yang dia baca begitu saja.  Dia pasti akan menganalisanya terlebih dahulu sebelum nanti akan memutuskan apakah yang ditulis oleh si penulis itu benar dan sesuai dengan fakta yang ada atau malah ternyata salah dan hanya mengada-ada saja.  Sekarang pertanyaannya adalah ‘Bagaimana sih cara agar bisa menjadi seorang pembaca yang kritis?”  jawabannya simple “Tingkatkan dulu minat anda untuk membaca!”
Seorang pembaca kritis akan menangkap dan melahap semua ide-ide yang disampaikan oleh si penulis.  Apapun tema bacaannya tidak akan menjadi masalah bagi seorang pembaca kritis.  Jika mahasiswa Indonesia seperti ini, niscaya mereka pasti tidak akan merasa kesulitan ketika dituntut untuk menulis dengan tema apapun.  Namun, kenyataannya tidak demikian. Rata-rata mahasiswa Indonesia hanya akan sukarela membaca apa yang menurut mereka menarik dan berkaitan erat dengan latar belakang kehidupan mereka.  Hal inilah yang bisa jadi penyebab terbatasnya ide-ide mereka ketika menulis.  Mereka hanya puas berada pada “zona aman” mereka saja.  Seharusnya mereka lebih berani lagi untuk keluar dari “zona aman” mereka dengan menggali informasi-informasi baru meskipun informasi tersebut tidak ada kaitannya dengan latar belakang kehidupan mereka.  Dengan begitu, mereka tidak akan menemukan rintangan yang berarti ketika mereka dituntut untuk menulis sekalipun dengan tema yang berbeda-beda.
Kemampuan dan minat menulis kita masih kurang berkembang jika dibandingkan dengan kemampuan dan minat membaca. Padahal jika kita perhatikan kemampuan dan minat membaca kita sendiri masih terbilang cukup rendah. Bayangkan saja bagaimana rendahnya kemampuan dan minat menulisnya.” (Abdul, 2011)  Rendahnya kemampuan dan minat untuk menulis ini sungguh sangatlah memprihatinkan.  Lalu, apakah penyebab terjadinya “fenomena” menyedihkan seperti ini?
Usut punya usut ternyata ada begitu banyak penyebab “fenomena” menyedihkan ini.  Jika kita ambil contoh seperti yang terjadi pada kalangan mahasiswa saja, terdapat banyak penyebabnya.  Salah satu penyebab yang paling menonjol dan sering dijadikan alasan oleh mereka adalah “rendahnya motivasi dari dalam diri mereka sendiri”.  Mayoritas para mahasiswa merasa enggan untuk menulis karena mereka telah mensugesti diri mereka sendiri bahwa mereka tidak dapat menulis dan tidak akan bisa menulis.  Perasaan seperti inilah yang seharusnya segera disingkirkan dari pikiran seorang mahasiswa sejati.  Karena pada dasarnya jika kita sudah memiliki niatan dari dalam diri kita sendiri untuk terus bergerak maju dan terus-menerus mencoba untuk membuat perubahan-perubahan yang signifikan, maka tidak akan ada lagi kata-kata “tidak bisa” di dalam kamus hidup kita.
Ada juga yang mengatakan bahwa “fenomena” menyedihkan ini bisa terjadi akibat rendahnya kunjungan ke perpustakaan.  Seperti yang kita sudah bahas diatas tadi, membaca merupakan referensi dan kunci untuk menulis.  Jika kita melihat suatu perpustakaan yang sepi akan pengunjung, tentu akan langsung terbesit di benak kita bahwa minat orang-orang untuk membaca sangatlah kurang.
Memang membaca itu bisa dilakukan dimana saja, tidak harus di perpustakaan saja.  Jika kita lihat orang-orang di negara-negara maju di dunia ini, mereka sering sekali terlihat sedang membaca di tempat-tempat umum, seperti stasiun, terminal dan di dalam kendaraan umum.  Mereka menggunakan waktu luang yang mereka miliki untuk membaca.  Mereka sering terlihat membawa buku saku hingga buku besar nan tebal untuk dibaca di tempat umum tersebut. Hal ini menunjukkan betapa tingginya jiwa literasi yang mereka miliki.  Namun, berbeda dengan yang biasa kita lihat di tempat-tempat umum di negeri ini.  Masyarakat Indonesia jarang yang menghabiskan waktu luang dengan membaca.  Mayoritas dari mereka lebih suka menggunakan waktu luang yang mereka miliki untuk mengobrol, bermain HP atau bahkan tidur.  Inilah cerminan jelas dari rendahnya budaya literasi yang terjadi di negara ini.
Dari beberapa penjabaran diatas tadi, bisa kita lihat bahwa terdapat “hubungan misterius” yang terjalin antara membaca dan menulis.  Keduanya ternyata sangatlah berkaitan dengan erat.  Kita tidak akan bisa menulis jika kita tidak membaca dan begitu pula sebaiknya.  Maka dari itu, budayakanlah jiwa membaca dan menulis bagi setiap generasi penerus bangsa ini, khususnya para mahasiswa.  Seperti yang dikatakan oleh Stephen King “Membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh seorang penulis.  Adapun seorang sastrawan K.H.Zainal Arifin Thoha (Alm) mengungkapkan, “Dengan menulis aku ada, dengan menulis aku hidup, dan dengan menulis aku dibaca…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar