Halaman

Alohomora

ALOHOMORA

Sabtu, 14 Februari 2015

“Literasi” Mantra Ampuh Untuk Menaklukkan Dunia!





“Literasi” Mantra Ampuh Untuk Menaklukkan Dunia!
by: Friska Maulani Dewi


Akhir-akhir ini, kata “literasi” semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia.  Setidaknya mungkin lebih populer bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum era globalisasi seperti sekarang ini.  Pada era ini, dimana teknologi tinggi merajalela dan menguasai segala aspek kehidupan, membuat “literasi” menjadi trending topik yang sering dibahas oleh banyak orang.  Bagaimana tidak? Literasi itulah yang menjadi “mantra pokok” yang harus dikuasai bagi para “penyihir-penyihir” (baca: orang-orang sukses) di era yang serba canggih ini.

Jika mendengar kata “literasi”, mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia tidak akan merasa aneh lagi.  Namun, bagaimana jika mendengar ada kata “rekayasa” di depan kata literasi tadi?  Pasti mayoritas orang Indonesia masih akan mengerutkan keningnya.  Rekayasa literasi?  Apa itu?  Mengapa literasi harus direkayasa?  Apa penyebabnya?  Untuk apa merekayasa literasi? Dan bagaimana caranya merekayasa literasi?  Tulisan saya kali ini akan mencoba untuk memahami jalan pikiran dari seorang A. Chaedar Alwasilah yang telah mencetuskan kata-kata yang membuat banyak orang mengerutkan kening mereka ketika membaca “Pokoknya Rekayasa Literasi”.
Sebelum membahas lebih jauh lagi mengenai “Rekayasa Literasi”, akan lebih baiknya kita bahas terlebih dahulu arti dari kata “rekayasa” dan “literasi” itu sendiri.  Yang pertama adalah kata “rekayasa”.  Mayoritas orang Indonesia ketika mendengar kata “rekayasa” pasti akan langsung mengacu pada sesuatu hal yang negatif.  Rekayasa sering diartikan sebagai “rencana jahat atau persekongkolan untuk merugikan pihak lain”.  Namun, ternyata masih ada arti lain dari kata “rekayasa” seperti yang dapat kita lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu: “penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaan (seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien)”.
Dalam bukunya yang berjudul “Pokoknya Rekayasa Literasi” khususnya pada bab 6 “Rekayasa Literasi” pak Chaedar Alwasilah mencantumkan definisi (lama) literasi adalah kemampuan membaca dan menulis (7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005: 898).  Namun, dalam konteks persekolahan Indonesia, istilah literasi ini jarang dipakai.  Istilah yang sering dipakai adalah pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa (Setiadi: 2010).  Jadi, pada dasarnya masyarakat Indonesia ini ternyata sudah mengetahui tentang literasi semenjak zaman dulu, hanya saja mereka semua tidak menyadarinya karena lebih dikenal sebagai “pembelajaran bahasa” dibandingkan dengan istilah kerennya “literasi”.
Sekarang kita telah mengetahui arti dari kata “rekayasa” dan “literasi”.  Lalu, apa yang dimaksud dengan “rekayasa literasi”?  Jika dilihat dalam konteks pendidikan, sepertinya arti “rekayasa” pada “rekayasa literasi” disini lebih tepat jika diartikan sebagai “penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaan”.  Jadi, rekayasa literasi disini bisa diartikan sebagai “penerapan kaidah-kaidah ilmu literasi pada kehidupan manusia”.  Seseorang baru bisa dikatakan sebagai seorang literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca (budaya literasi yang dilakukannya) dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.  Namun, dalam konteks zaman canggih ini, literasi bukan hanya sekedar kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara saja.  Literasi yang sekarang bisa juga berarti melek teknologi, politik, ekonomi, bisa berpikiran kritis dan juga peka terhadap lingkungan sekitarnya.
Literasi tetap berurusan dengan penggunaan bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait, yaitu:
          Dimensi Geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional)
            Literasi seseorang dapat dikatakan berdimensi lokal, nasional, regional, ataupun internasional bergantung pada tingkatan pendidikan dan jejaring sosial dan vokasionalnya.  Contohnya saja pada seorang diplomat, dia lebih sering ditantang untuk memiliki literasi internasionalnya jika dibandingkan dengan seorang bupati.  Seorang diplomat yang sering melakukan dinas ke luar negeri dituntut untuk lancar berbahasa Inggris (sebagai bahasa dunia) atau bahkan dituntut untuk mempelajari bahasa-bahasa yang ada pada negara yang akan dia kunjungi (walaupun Negara tersebut tidak terbiasa dengan berbahasa Inggris).
          Dimensi Bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer dan sebagainya).
                        Literasi bangsa tampak jelas dibidang pendidikan, komunikasi, hiburan dan sebagainya.  Contohnya pada bidang pendidikan dan komunikasi.  Pendidikan yang berkualitas tinggi akan menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula.  Dan dengan literasi yang tinggi pula akan tercipta komunikasi yang baik dan berkualitas tinggi.
          Dimensi Keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara)
                        Literasi seseorang akan tampak melalui kegiatan membaca, menulis, menghitung dan berbicara yang dia lakukan.  Setiap sarjana pasti mampu membaca, tapi apakah semua sarjana mampu menulis?  Belum tentu!  Bahkan ternyata masih banyak juga dosen yang tidak mampu menulis.  Kualitas tulisan seseorang akan bergantung pada “gizi” bacaan yang disantapnya.  Jadi, seorang dosen, mahasiwa, sarjana, diplomat atau bahkan presiden sekalipun akan memiliki kualitas tulisan yang rendah jika mereka semua tidak suka membaca.
          Dimensi Fungsi (memecahkan masalah, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan hidup, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri)
                        Orang yang berliterasi tinggi akan mampu memecahkan masalah, mudah untuk mendapatkan pekerjaan, berpotensi tinggi dalam mencapai tujuan hidupnya dan gesit dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
          Dimensi Media (teks. cetak, visual, digital)
                        Pada era globalisasi dan zaman serba canggih ini orang tidak hanya cukup mengandalkan kemampuan membaca dan menulis saja, melainkan juga harus mengembangkan penguasaan IT (Information Technology) seperti literasi visual, literasi digital dan literasi virtual.
          Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa)
                        Jumlah dapat merujuk pada banyak hal misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media, dan sebagainya.  Orang multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi.  Kemampuan ini tumbuh karena proses pendidikan yang berkualitas tinggi.
          Dimensi Bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional)
                        Ada literasi yang singular, ada pula yang plural.  Hal ini beranalogi pada dimensi monolingual, bilingual, dan multilingual.  Contohnya pada seorang mahasiswa bahasa Inggris yang berasal dari Jawa.  Otomatis dia akan menjadi seorang multilingual dalam bahasa ibu (bahasa Jawa), bahasa nasional (bahasa Indonesia) dan bahasa asing (bahasa Inggris).
            Pada dasarnya seseorang dengan literasi yang tinggi paling tidak dia akan menjadi bilingual atau bahkan multilingual.  Untuk bersaing di tingkat dunia, semua orang harus memiliki literasi tingkat dunia pula. Salah satu kuncinya adalah dengan mempelajari bahasa dunia.  Namun, sebelum mempelajari lebih dalam tentang bahasa dunia, alangkah baiknya jika kita semua memperdalam bahasa pokok (main language) kita terlebih dahulu.  Hal ini dikarenakan bahasa pokok kita merupakan modal utama dan fondasi yang kuat yang akan menuntun kita kepada bahasa dunia yang lainnya (L1→L2).
Seperti sudah dikatakan sebelumnya literasi tetap berurusan dengan penggunaan bahasa, baik bahasa negara sendiri maupun bahasa asing yang dipelajari oleh sang literat.  Pada dasarnya seseorang bisa dikatakan telah menguasai sebuah bahasa asing adalah ketika dia bisa berbicara, mendengarkan, mengerti, membaca dan menulis dengan fasih dalam bahasa tersebut.  Dengan demikian, diharapkan orang tersebut akan lebih terdorong lagi untuk terus membaca dan menulis dalam bahasa tersebut sebanyak yang bisa dilakukannya.  Ya, ujung-ujungnya tetap pasti akan kembali kepada “membaca dan menulis”.  Karena memang membaca dan menulis itulah yang merupakan fondasi pokok dan utama untuk menjadi seorang literat.
Pendidikan bahasa yang berbasis literasi seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut:
1.      Literasi adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
            Pendidikan bahasa sejak tingkat dasar melatih dan memberdayakan siswa untuk memfungsikan bahasa sesuai dengan konvensinya dalam kehidupan nyata seperti cara membuat CV, surat lamaran kerja, membaca jadwal penerbangan, membaca menu, dan lain sebagainya.
2.      Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.
            Pendidikan bahasa sejak dini membiasakan siswa berekspresi, baik secara lisan maupun secara tulisan.  Di tingkat tinggi, (maha)siswa mampu mereproduksi ilmu pengetahuan berupa karya ilmiah, fiksi, dan sebagainya.  Dengan kata lain, (maha)siswa secara bertahap melakukan konstruksi dan rekonstruksi, karena bahasa itu sendiri bersifat konstruktif dan generatif.
3.      Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
            Pendidikan bahasa juga melatih siswa untuk dapat berpikir kritis,.  Bahasa adalah alat berpikir.  Mengajarkan bahasa seyogianya melatih siswa untuk bisa menggunakan bahasa dengan nalar.
4.      Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
            Berbaca-tulis selalu ada dalam sistem budaya (kepercayaan, sikap, cara, dan tujuan budaya).  Pendidikan bahasa seyogianya mengajarkan pengetahuan budaya.  Dengan mengetahui seluk-beluk budaya dan sejarah suatu negara, kita akan bisa mengenal lebih dalam lagi dengan negara tersebut.
5.      Literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
            Penulis dan pembaca senantiasa berpikir tentang bahasa dan mengaitkannya dengan pegalaman subjektif dan juga dunianya.  Pendidikan bahasa seyogianya menanamkan pada diri (maha)siswa kebiasaan melakukan refleksi atas bahasa sendiri maupun bahasa orang lain.  Hal ini bertujuan untuk mempermudah komunikasi yang berlangsung antara (maha)siswa tersebut dengan orang lain.
6.      Literasi adalah hasil kolaborasi.
            Berbaca-tulis selalu melibatkan kolaborasi antara dua pihak yang saling berkomunikasi.  Penulis (tidak) menuliskan sesuatu berdasarkan pemahamannya ihwal calon pembaca.  Pembaca pun harus mengerahkan segala pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya untuk memaknai tulisan tersebut.  Pendidikan bahasa sejak dini melatih siswa menggunakan bahasa melalui kegiatan kolaboratif.  Segala keterampilan berbahasa sebaiknya dibangun lewat kegiatan kolaborasi.
7.      Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.
            Penulis memaknai (menginterpretasikan) alam semesta dan pengalaman subjektifnya lewat kata-kata dan pembaca memaknai interpretasi sang penulis.  Pendidikan bahasa sejak dini seyogianya melatih (maha)siswa melakukan interpretasi (mencari, menebak, dan juga membangun makna) atas berbagai jenis teks dalam wacana tekstual, visual dan digital di berbagai ranah kehidupan dan bidang ilmu.
            Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi tingkat literasi seseorang.  Bila pendidikan seseorang relatif tinggi tetapi tingkat literasinya relatif rendah (misalnya pada umumnya ilmuwan Indonesia yang kurang produktif dalam menulis), bisa jadi karena pendidikan literasinya kurang maksimal, atau karena sudut pandang (paradigma) yang berbeda ihwal (pendidikan) literasi.  Sekali lagi, literasi adalah kemampuan berbaca-tulis dan malah bagi sebagian orang literasi berkonotasi “general learnedness and familiarity with literature” (Kern 2000: 3).  Artinya bahwa seorang literat itu tidak sekadar berbaca-tulis, tetapi juga terdidik dan mengenal sastra.
Perubahan Paradigma Pengajaran Literasi
Tadinya…
Kini…
♦ Bahasa adalah sistem struktur yang mandiri
♦ Bahasa adalah fenomena sosial
♦ Fokus pengajaran pada kalimat-kalimat yang terisolasi.
♦ Fokus pada serpihan-serpihan kalimat yang saling terhubung
♦ Berorientasi ke hasil
♦ Berorientasi ke proses
♦ Fokus pada teks sebagai display kosakata dan struktur tata bahasa
♦ Fokus pada teks sebagai realisasi tindakan komunikasi
♦ Mengajarkan norma-norma preskriptif dalam berbahasa
♦ Perhatian pada variasi register dan gaya ujaran
♦ Fokus pada penguasaan keterampilan secara terpisah (discrete)
♦ Fokus pada ekspresi diri
♦ Menekankan makna denotatif dalam konteksnya
♦ Menekankan nilai komunikasi
(sumber: Kern 2000: 19)
            Paradigma adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap objek pandang (baca: pengajaran literasi).  Perubahan sudut pandang yang terjadi pada perubahan paradigma pengajaran literasi ini tentunya membawa sejumlah konsekuensi sampai kepada metode dan teknik pengajaran yang kasat mata dan hasilnya pun dapat kita ukur.
Bisa kita lihat pada tabel diatas bahwa terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan pada pengajaran literasi.  Seperti misalnya perubahan yang terjadi dari yang tadinya pengajaran literasi berorientasi ke hasil, kini berorientasi kepada prosesnya.  Hal ini bisa berarti guru bahasa tidak lagi mempermasalahkan tentang apa atau berapa banyak tulisan yang dihasilkan oleh siswanya, melainkan sang guru lebih fokus tentang bagaimana tulisan tersebut diproses mulai dari A sampai dengan Z oleh siswa tersebut.
Contoh lain perubahan paradigma pengajaran literasi adalah guru bahasa tidak lagi menentukan target yang sama bagi semua siswa, misalnya seribu kata dalam esai naratif.  Hal ini dikarenakan pertimbangan bahwa dalam proses menulisnya setiap siswa memiliki hobi dan gaya masing-masing yang tentunya akan berbeda satu sama lainnya.
Demikian pula dalam perubahan yang terjadi pada fokus yang tadinya teretak pada penguasaan keterampilan secara terpisah (discrete) menjadi lebih fokus kepada ekspresi diri.  Intinya, yang penting berekspresi tulis.  Masalah kesalahan ejaan, tata bahasa dan kosakata dapat dibenahi seiring berjalannya waktu.  Disinilah siswa dituntut untuk berekspresi dan menunjukkan karakter diri masing-masing yang sesungguhnya.
Pendidikan bahasa sejak dini membiasakan siswa untuk terus berekspresi, baik secara lisan maupun tulisan.  Dengan dilatih untuk terus berekspresi, siswa dilatih untuk mengeluarkan pendapat dan terus menggali lebih dalam lagi perihal ide-ide cemerlang yang ada dibenak mereka.  Ide-ide inilah yang akan menjadi modal utama mereka untuk membangun bangsa ini karena mereka semua merupakan generasi penerus bangsa yang akan menjadi tulang punggung kejayaan bangsa Indonesia ini.
Ironisnya, ternyata tingkat literasi siswa Indonesia masih tertinggal jauh oleh siswa dari negara-negara lainnya.  Artinya, pendidikan nasional kita belum berhasil untuk menciptakan warga negara literat yang siap bersaing dengan rekan-rekan sejawatnya dari negara lain.  Hal inilah yang dimaksud oleh pak Chaedar dengan “Rapor Merah Literasi Anak Negeri”.  Bisa kita lihat dengan jelas bagaimana budaya baca di Indonesia masih kalah ngetop dengan budaya menonton.  Keseharian siswa Indonesia lebih banyak dihiasi oleh tayangan TV, game online dan permainan modern lainnya.  Tidak heran jika pada akhirnya mereka lebih hafal nama-nama tayangan TV dan jenis-jenis game terbaru jika dibandingkan dengan judul-judul buku.  Ini menunjukkan rendahnya tingkat literasi siswa Indonesia.  Lalu, jika sudah seperti ini, siapakah yang patut untuk disalahkan?
Sekolah yang notabene sebagai lembaga pendidikan formal yang juga merupakan situs pertama untuk membangun literasi mungkin menjadi objek yang pertama kali sering disalahkan.  Atau justru pihak yang harus disalahkan adalah orangtua siswa yang notabene setiap orangtua merupakan guru pertama dalam kehidupan seorang anak.  Pada dasarnya, sekarang bukan saatnya untuk saling menuduh tentang siapa yang harus disalahkan atas rendahnya tingkat literasi siswa Indonesia.  Yang seharusnya menjadi otoritas kita sekarang adalah bagaimana cara kita untuk meningkatkan budaya literasi pada generasi penerus bangsa.  Karena literasi adalah “mantra ampuh” untuk menaklukkan dunia.  Kita harus mempersenjatakan generasi muda kita dengan mantra ampuh tersebut untuk Indonesia yang lebih maju.
Jadi, itulah pentingnya “rekayasa literasi” bagi kehidupan kita.  Kita perlu dan harus merekayasa literasi demi terciptanya kehidupan yang lebih baik bagi diri kita dan orang-orang sekitar kita.  Terlebih lagi kita merupakan tulang punggung negara ini karena kita adalah generasi muda penerus bangsa.  Bangsa yang maju tidak terlihat dari sumber daya alam yang melimpah ruah, namun terlihat dari seberapa banyak sumber daya manusia berkualitas tinggi yang ada untuk membangun negara tersebut.  Dan salah satu cara paling ampuh yang bisa dilakukan untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi adalah dengan cara menanamkan budaya literasi atau rekayasa literasi.  Orang biasa bisa menjadi luar biasa bukan karena harta atau kedudukannya, akan tetapi karena kebiasaannya membaca.  Seperti yang juga dikatakan oleh Anne J. Arbali “Through reading, writing comes naturally. Through writing, stories, imaginations, dreams, facts and fictions come to life”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar