by: Friska Maulani Dewi
Akhir-akhir ini, kata “literasi” semakin
populer di kalangan masyarakat Indonesia. Setidaknya mungkin lebih populer bila
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum era globalisasi seperti sekarang
ini. Pada era ini, dimana teknologi
tinggi merajalela dan menguasai segala aspek kehidupan, membuat “literasi”
menjadi trending topik yang sering dibahas oleh banyak orang. Bagaimana tidak? Literasi itulah yang menjadi
“mantra pokok” yang harus dikuasai bagi para “penyihir-penyihir” (baca:
orang-orang sukses) di era yang serba canggih ini.
Jika mendengar kata “literasi”, mungkin
sebagian besar masyarakat Indonesia tidak akan merasa aneh lagi. Namun, bagaimana jika mendengar ada kata
“rekayasa” di depan kata literasi tadi?
Pasti mayoritas orang Indonesia masih akan mengerutkan keningnya. Rekayasa literasi? Apa itu?
Mengapa literasi harus direkayasa?
Apa penyebabnya? Untuk apa
merekayasa literasi? Dan bagaimana caranya merekayasa literasi? Tulisan saya kali ini akan mencoba untuk
memahami jalan pikiran dari seorang A. Chaedar Alwasilah yang telah mencetuskan
kata-kata yang membuat banyak orang mengerutkan kening mereka ketika membaca
“Pokoknya Rekayasa Literasi”.
Sebelum membahas lebih jauh lagi
mengenai “Rekayasa Literasi”, akan lebih baiknya kita bahas terlebih dahulu
arti dari kata “rekayasa” dan “literasi” itu sendiri. Yang pertama adalah kata “rekayasa”. Mayoritas orang Indonesia ketika mendengar
kata “rekayasa” pasti akan langsung mengacu pada sesuatu hal yang negatif. Rekayasa sering diartikan sebagai “rencana
jahat atau persekongkolan untuk merugikan pihak lain”. Namun, ternyata masih ada arti lain dari kata
“rekayasa” seperti yang dapat kita lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), yaitu: “penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaan (seperti
perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan
sistem yang ekonomis dan efisien)”.
Dalam bukunya yang berjudul “Pokoknya
Rekayasa Literasi” khususnya pada bab 6 “Rekayasa Literasi” pak Chaedar
Alwasilah mencantumkan definisi (lama) literasi adalah kemampuan membaca dan
menulis (7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005:
898). Namun, dalam konteks persekolahan
Indonesia, istilah literasi ini jarang dipakai.
Istilah yang sering dipakai adalah pengajaran bahasa atau pembelajaran
bahasa (Setiadi: 2010). Jadi, pada
dasarnya masyarakat Indonesia ini ternyata sudah mengetahui tentang literasi
semenjak zaman dulu, hanya saja mereka semua tidak menyadarinya karena lebih
dikenal sebagai “pembelajaran bahasa” dibandingkan dengan istilah kerennya
“literasi”.
Sekarang kita telah mengetahui arti dari
kata “rekayasa” dan “literasi”. Lalu,
apa yang dimaksud dengan “rekayasa literasi”?
Jika dilihat dalam konteks pendidikan, sepertinya arti “rekayasa” pada
“rekayasa literasi” disini lebih tepat jika diartikan sebagai “penerapan
kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaan”.
Jadi, rekayasa literasi disini bisa diartikan sebagai “penerapan
kaidah-kaidah ilmu literasi pada kehidupan manusia”. Seseorang baru bisa dikatakan sebagai seorang
literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca (budaya literasi
yang dilakukannya) dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya. Namun, dalam konteks zaman canggih ini,
literasi bukan hanya sekedar kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara
saja. Literasi yang sekarang bisa juga
berarti melek teknologi, politik, ekonomi, bisa berpikiran kritis dan juga peka
terhadap lingkungan sekitarnya.
Literasi tetap berurusan dengan
penggunaan bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki
tujuh dimensi yang saling terkait, yaitu:
● Dimensi
Geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional)
Literasi seseorang dapat dikatakan berdimensi lokal,
nasional, regional, ataupun internasional bergantung pada tingkatan pendidikan
dan jejaring sosial dan vokasionalnya.
Contohnya saja pada seorang diplomat, dia lebih sering ditantang untuk
memiliki literasi internasionalnya jika dibandingkan dengan seorang
bupati. Seorang diplomat yang sering
melakukan dinas ke luar negeri dituntut untuk lancar berbahasa Inggris (sebagai
bahasa dunia) atau bahkan dituntut untuk mempelajari bahasa-bahasa yang ada
pada negara yang akan dia kunjungi (walaupun Negara tersebut tidak terbiasa
dengan berbahasa Inggris).
● Dimensi Bidang (pendidikan, komunikasi,
administrasi, hiburan, militer dan sebagainya).
Literasi bangsa tampak
jelas dibidang pendidikan, komunikasi, hiburan dan sebagainya. Contohnya pada bidang pendidikan dan
komunikasi. Pendidikan yang berkualitas
tinggi akan menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula. Dan dengan literasi yang tinggi pula akan
tercipta komunikasi yang baik dan berkualitas tinggi.
● Dimensi Keterampilan (membaca, menulis,
menghitung, berbicara)
Literasi seseorang akan
tampak melalui kegiatan membaca, menulis, menghitung dan berbicara yang dia
lakukan. Setiap sarjana pasti mampu
membaca, tapi apakah semua sarjana mampu menulis? Belum tentu!
Bahkan ternyata masih banyak juga dosen yang tidak mampu menulis. Kualitas tulisan seseorang akan bergantung
pada “gizi” bacaan yang disantapnya.
Jadi, seorang dosen, mahasiwa, sarjana, diplomat atau bahkan presiden
sekalipun akan memiliki kualitas tulisan yang rendah jika mereka semua tidak
suka membaca.
● Dimensi Fungsi (memecahkan masalah,
mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan hidup, mengembangkan pengetahuan,
mengembangkan potensi diri)
Orang yang berliterasi
tinggi akan mampu memecahkan masalah, mudah untuk mendapatkan pekerjaan,
berpotensi tinggi dalam mencapai tujuan hidupnya dan gesit dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
● Dimensi Media (teks. cetak, visual, digital)
Pada era globalisasi dan
zaman serba canggih ini orang tidak hanya cukup mengandalkan kemampuan membaca
dan menulis saja, melainkan juga harus mengembangkan penguasaan IT (Information
Technology) seperti literasi visual, literasi digital dan literasi virtual.
● Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa)
Jumlah dapat merujuk
pada banyak hal misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu,
media, dan sebagainya. Orang
multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi. Kemampuan ini tumbuh karena proses pendidikan
yang berkualitas tinggi.
● Dimensi Bahasa (etnis, lokal, nasional,
regional, internasional)
Ada literasi yang
singular, ada pula yang plural. Hal ini
beranalogi pada dimensi monolingual, bilingual, dan multilingual. Contohnya pada seorang mahasiswa bahasa
Inggris yang berasal dari Jawa. Otomatis
dia akan menjadi seorang multilingual dalam bahasa ibu (bahasa Jawa), bahasa
nasional (bahasa Indonesia) dan bahasa asing (bahasa Inggris).
Pada dasarnya seseorang dengan
literasi yang tinggi paling tidak dia akan menjadi bilingual atau bahkan
multilingual. Untuk bersaing di tingkat
dunia, semua orang harus memiliki literasi tingkat dunia pula. Salah satu
kuncinya adalah dengan mempelajari bahasa dunia. Namun, sebelum mempelajari lebih dalam
tentang bahasa dunia, alangkah baiknya jika kita semua memperdalam bahasa pokok
(main language) kita terlebih dahulu.
Hal ini dikarenakan bahasa pokok kita merupakan modal utama dan fondasi
yang kuat yang akan menuntun kita kepada bahasa dunia yang lainnya (L1→L2).
Seperti sudah dikatakan
sebelumnya literasi tetap berurusan dengan penggunaan bahasa, baik bahasa
negara sendiri maupun bahasa asing yang dipelajari oleh sang literat. Pada dasarnya seseorang bisa dikatakan telah
menguasai sebuah bahasa asing adalah ketika dia bisa berbicara, mendengarkan,
mengerti, membaca dan menulis dengan fasih dalam bahasa tersebut. Dengan demikian, diharapkan orang tersebut
akan lebih terdorong lagi untuk terus membaca dan menulis dalam bahasa tersebut
sebanyak yang bisa dilakukannya. Ya,
ujung-ujungnya tetap pasti akan kembali kepada “membaca dan menulis”. Karena memang membaca dan menulis itulah yang
merupakan fondasi pokok dan utama untuk menjadi seorang literat.
Pendidikan bahasa yang
berbasis literasi seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip
sebagai berikut:
1.
Literasi adalah kecakapan hidup (life skills) yang
memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
Pendidikan bahasa sejak tingkat dasar melatih dan
memberdayakan siswa untuk memfungsikan bahasa sesuai dengan konvensinya dalam
kehidupan nyata seperti cara membuat CV, surat lamaran kerja, membaca jadwal
penerbangan, membaca menu, dan lain sebagainya.
2.
Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif
dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.
Pendidikan bahasa sejak dini membiasakan siswa
berekspresi, baik secara lisan maupun secara tulisan. Di tingkat tinggi, (maha)siswa mampu
mereproduksi ilmu pengetahuan berupa karya ilmiah, fiksi, dan sebagainya. Dengan kata lain, (maha)siswa secara bertahap
melakukan konstruksi dan rekonstruksi, karena bahasa itu sendiri bersifat
konstruktif dan generatif.
3.
Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
Pendidikan bahasa juga melatih siswa untuk dapat berpikir
kritis,. Bahasa adalah alat berpikir. Mengajarkan bahasa seyogianya melatih siswa
untuk bisa menggunakan bahasa dengan nalar.
4.
Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi
budaya.
Berbaca-tulis selalu ada dalam sistem budaya
(kepercayaan, sikap, cara, dan tujuan budaya).
Pendidikan bahasa seyogianya mengajarkan pengetahuan budaya. Dengan mengetahui seluk-beluk budaya dan
sejarah suatu negara, kita akan bisa mengenal lebih dalam lagi dengan negara
tersebut.
5.
Literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
Penulis dan pembaca senantiasa berpikir tentang bahasa
dan mengaitkannya dengan pegalaman subjektif dan juga dunianya. Pendidikan bahasa seyogianya menanamkan pada
diri (maha)siswa kebiasaan melakukan refleksi atas bahasa sendiri maupun bahasa
orang lain. Hal ini bertujuan untuk
mempermudah komunikasi yang berlangsung antara (maha)siswa tersebut dengan
orang lain.
6.
Literasi adalah hasil kolaborasi.
Berbaca-tulis selalu melibatkan kolaborasi antara dua
pihak yang saling berkomunikasi. Penulis
(tidak) menuliskan sesuatu berdasarkan pemahamannya ihwal calon pembaca. Pembaca pun harus mengerahkan segala pengetahuan
dan pengalaman yang dimilikinya untuk memaknai tulisan tersebut. Pendidikan bahasa sejak dini melatih siswa
menggunakan bahasa melalui kegiatan kolaboratif. Segala keterampilan berbahasa sebaiknya
dibangun lewat kegiatan kolaborasi.
7.
Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Penulis memaknai (menginterpretasikan) alam semesta dan
pengalaman subjektifnya lewat kata-kata dan pembaca memaknai interpretasi sang
penulis. Pendidikan bahasa sejak dini
seyogianya melatih (maha)siswa melakukan interpretasi (mencari, menebak, dan
juga membangun makna) atas berbagai jenis teks dalam wacana tekstual, visual
dan digital di berbagai ranah kehidupan dan bidang ilmu.
Tingkat
pendidikan sangat mempengaruhi tingkat literasi seseorang. Bila pendidikan seseorang relatif tinggi
tetapi tingkat literasinya relatif rendah (misalnya pada umumnya ilmuwan
Indonesia yang kurang produktif dalam menulis), bisa jadi karena pendidikan
literasinya kurang maksimal, atau karena sudut pandang (paradigma) yang berbeda
ihwal (pendidikan) literasi. Sekali
lagi, literasi adalah kemampuan berbaca-tulis dan malah bagi sebagian orang
literasi berkonotasi “general learnedness
and familiarity with literature” (Kern 2000: 3). Artinya bahwa seorang literat itu tidak
sekadar berbaca-tulis, tetapi juga terdidik dan mengenal sastra.
Perubahan Paradigma Pengajaran Literasi
Tadinya…
|
Kini…
|
♦ Bahasa adalah sistem struktur yang mandiri
|
♦
Bahasa adalah fenomena sosial
|
♦ Fokus pengajaran pada kalimat-kalimat yang
terisolasi.
|
♦
Fokus pada serpihan-serpihan kalimat yang saling terhubung
|
♦ Berorientasi ke hasil
|
♦
Berorientasi ke proses
|
♦ Fokus pada teks sebagai display kosakata dan
struktur tata bahasa
|
♦
Fokus pada teks sebagai realisasi tindakan komunikasi
|
♦ Mengajarkan norma-norma preskriptif dalam
berbahasa
|
♦
Perhatian pada variasi register dan gaya ujaran
|
♦ Fokus pada penguasaan keterampilan secara
terpisah (discrete)
|
♦
Fokus pada ekspresi diri
|
♦ Menekankan makna denotatif dalam konteksnya
|
♦
Menekankan nilai komunikasi
|
(sumber: Kern
2000: 19)
Paradigma
adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap objek pandang (baca: pengajaran
literasi). Perubahan sudut pandang yang
terjadi pada perubahan paradigma pengajaran literasi ini tentunya membawa
sejumlah konsekuensi sampai kepada metode dan teknik pengajaran yang kasat mata
dan hasilnya pun dapat kita ukur.
Bisa kita lihat pada tabel
diatas bahwa terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan pada pengajaran
literasi. Seperti misalnya perubahan
yang terjadi dari yang tadinya pengajaran literasi berorientasi ke hasil, kini
berorientasi kepada prosesnya. Hal ini
bisa berarti guru bahasa tidak lagi mempermasalahkan tentang apa atau berapa
banyak tulisan yang dihasilkan oleh siswanya, melainkan sang guru lebih fokus
tentang bagaimana tulisan tersebut diproses mulai dari A sampai dengan Z oleh
siswa tersebut.
Contoh lain perubahan
paradigma pengajaran literasi adalah guru bahasa tidak lagi menentukan target
yang sama bagi semua siswa, misalnya seribu kata dalam esai naratif. Hal ini dikarenakan pertimbangan bahwa dalam
proses menulisnya setiap siswa memiliki hobi dan gaya masing-masing yang
tentunya akan berbeda satu sama lainnya.
Demikian pula dalam
perubahan yang terjadi pada fokus yang tadinya teretak pada penguasaan
keterampilan secara terpisah (discrete) menjadi lebih fokus kepada ekspresi
diri. Intinya, yang penting berekspresi
tulis. Masalah kesalahan ejaan, tata
bahasa dan kosakata dapat dibenahi seiring berjalannya waktu. Disinilah siswa dituntut untuk berekspresi
dan menunjukkan karakter diri masing-masing yang sesungguhnya.
Pendidikan bahasa sejak
dini membiasakan siswa untuk terus berekspresi, baik secara lisan maupun
tulisan. Dengan dilatih untuk terus
berekspresi, siswa dilatih untuk mengeluarkan pendapat dan terus menggali lebih
dalam lagi perihal ide-ide cemerlang yang ada dibenak mereka. Ide-ide inilah yang akan menjadi modal utama
mereka untuk membangun bangsa ini karena mereka semua merupakan generasi
penerus bangsa yang akan menjadi tulang punggung kejayaan bangsa Indonesia ini.
Ironisnya, ternyata tingkat
literasi siswa Indonesia masih tertinggal jauh oleh siswa dari negara-negara
lainnya. Artinya, pendidikan nasional
kita belum berhasil untuk menciptakan warga negara literat yang siap bersaing
dengan rekan-rekan sejawatnya dari negara lain.
Hal inilah yang dimaksud oleh pak Chaedar dengan “Rapor Merah Literasi
Anak Negeri”. Bisa kita lihat dengan
jelas bagaimana budaya baca di Indonesia masih kalah ngetop dengan budaya
menonton. Keseharian siswa Indonesia
lebih banyak dihiasi oleh tayangan TV, game online dan permainan modern
lainnya. Tidak heran jika pada akhirnya
mereka lebih hafal nama-nama tayangan TV dan jenis-jenis game terbaru jika
dibandingkan dengan judul-judul buku.
Ini menunjukkan rendahnya tingkat literasi siswa Indonesia. Lalu, jika sudah seperti ini, siapakah yang
patut untuk disalahkan?
Sekolah yang notabene
sebagai lembaga pendidikan formal yang juga merupakan situs pertama untuk
membangun literasi mungkin menjadi objek yang pertama kali sering
disalahkan. Atau justru pihak yang harus
disalahkan adalah orangtua siswa yang notabene setiap orangtua merupakan guru
pertama dalam kehidupan seorang anak.
Pada dasarnya, sekarang bukan saatnya untuk saling menuduh tentang siapa
yang harus disalahkan atas rendahnya tingkat literasi siswa Indonesia. Yang seharusnya menjadi otoritas kita
sekarang adalah bagaimana cara kita untuk meningkatkan budaya literasi pada
generasi penerus bangsa. Karena literasi
adalah “mantra ampuh” untuk menaklukkan dunia.
Kita harus mempersenjatakan generasi muda kita dengan mantra ampuh
tersebut untuk Indonesia yang lebih maju.
Jadi, itulah pentingnya
“rekayasa literasi” bagi kehidupan kita.
Kita perlu dan harus merekayasa literasi demi terciptanya kehidupan yang
lebih baik bagi diri kita dan orang-orang sekitar kita. Terlebih lagi kita merupakan tulang punggung negara
ini karena kita adalah generasi muda penerus bangsa. Bangsa yang maju tidak terlihat dari sumber
daya alam yang melimpah ruah, namun terlihat dari seberapa banyak sumber daya
manusia berkualitas tinggi yang ada untuk membangun negara tersebut. Dan salah satu cara paling ampuh yang bisa
dilakukan untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi adalah
dengan cara menanamkan budaya literasi atau rekayasa literasi. Orang biasa bisa menjadi luar biasa bukan
karena harta atau kedudukannya, akan tetapi karena kebiasaannya membaca. Seperti yang juga dikatakan oleh Anne J.
Arbali “Through reading, writing comes
naturally. Through writing, stories, imaginations, dreams, facts and fictions
come to life”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar