“Kerukunan Beragama” Apakah Hanya Sekedar Wacana
Belaka?
(by : Friska Maulani Dewi)
“Kerukunan”
setiap orang di dunia ini pasti mendambakan hal ini dapat terwujud di kehidupan
mereka sehari-hari. Seperti juga halnya
rakyat Indonesia. Siapa di dunia ini
yang tidak mendambakan kehidupan yang rukun?
Adakah orang yang merasa senang dengan perpecahan dan kehancuran? Siapa yang ingin setiap hari di hidupnya
dihadapkan dengan perang yang bisa merenggut nyawa orang-orang yang kita
sayangi? Jika anda masih tergolong orang
dengan pemikiran waras dan mampu berpikir secara sehat dan benar, anda pasti
tidak akan menyukai perang yang bisa menyebabkan perpecahan dan
kehancuran. Lalu bagaimana caranya agar
tidak terjadi perang dan kerusuhan-kerusuhan tersebut? Jawabannya jelas kita harus memelihara
kerukunan agar tercipta kehidupan yang nyaman, aman, tentram dan damai.
Salah
satu bentuk kerukunan yang perlu kita junjung adalah kerukunan antar umat
beragama. Kerukunan antar umat beragama
merupakan asset yang berharga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
khususnya di Indonesia ini. Pasalnya,
terdapat 5 agama utama yang diakui telah dianut oleh bangsa Indonesia. Kelima agama tersebut adalah Islam, Kristen
(Protestan dan Katolik), Hindu, Budha dan Konghucu. Namun, akhir-akhir ini ada juga yang
mengatkan bahwa di Indonesia terdapat 6 agama yang diakui. Ada agama lain selain kelima agama yang tadi
telah disebutkan? Bukan, hal ini karena
agama Kristen dibagi menjadi 2 yaitu masing-masing Kristen Protestan dan
Kristen Katolik.
Dengan banyaknya agama yang berbeda-beda
tersebut, bagaimanakah cara ampuh untuk menjaga kerukunan antar umat beragama?
Mengapa kita harus menjaganya? Apa
manfaatnya? Dan bagaimanakah
caranya? Dalam tulisan ini, saya akan
mencoba menelaah lebih dalam lagi tentang hal-hal yang berkenaan dengan
kerukunan antar umat beragama tersebut berdasarkan pendapat-pendapat yang
dikemukakan oleh Prof. A. Chaedar Alwasilah yang telah dimuat di The Jakarta
Post, 22 Oktober 2011 lalu.
Dalam artikel yang berjudul asli
“Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” tersebut Pak Chaedar membahas
tentang kerukunan beragama melalui sudut pandang dan aspek dunia
pendidikan. “Wacana Kelas untuk Memupuk
Kerukunan Beragama” mungkin itulah judul artikel tersebut jika diartikan dalam
bahasa Indonesia. Jika dilihat dari
judulnya saja, anda pasti sudah bisa menebak bahwa dalam artikel ini Pak
Chaedar ini lebih membahas kepada apa yang terjadi pada lingkungan sekolah,
khususnya dalam sistem pengajaran yang berlangsung di dalam kelas.
Kualitas suatu bangsa dapat juga
terlihat dari sistem pendidikan yang dianut oleh bangsa tersebut. Hampir semua negara maju yang menyadari
tentang hal ini akan membentuk sistem pendidikannya dengan sebaik mungkin. Salah satu cara untuk membangun sistem
pendidikan yang baik dan berkualitas tinggi adalah dengan cara memulai membangun
pendidikan dasar yang tinggi pula.
Pendidikan dasar ini ditujukan dengan maksud untuk membekali kepada
siswanya keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai
individu, anggota masyarakat dan warga negara yang baik sesuai dengan yang
telah diatur dalam Undang-Undang.
Namun, ternyata sampai saat ini masih
banyak masalah sosial yang terjadi pada masyarakat Indonesia ini. Dapat kita lihat dengan mata kepala kita
sendiri masih banyak tawuran antar pelajar, bentrokan para pemuda dan banyak
bentuk lain dari radikalisme yang terjadi di seluruh Indonesia. Hal ini mengindikasikan penyakit-penyakit
sosial yang semata-mata dapat disebabkan oleh kurangnya rasa kepedulian,
kepekaan (respect) dan juga rasa hormat terhadap sesama manusia.
Konflik sosial inilah (termasuk
ketidakharmonisan antar umat bergama) yang akan menjadi tugas yang sangat
menantang bagi para pendidik di Indonesia.
Mereka harus melakukan yang terbaik guna mempersiapkan generasi muda
penerus bangsa dengan dilengkapi karakter-karakter yang baik yang nantinya akan
membawa mereka sebagai warga negara demokratis sebagaimana yang telah diatur
dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Bagaimanakah cara untuk mewujudkan semua
tujuan mulia ini? Kita kembali lagi pada
bahasan utama kita tadi yaitu kerukunan antar umat beragama. Kerukunan antar umat beragama ini seharusnya
dikembangkan kepada generasi muda penerus bangsa pada usia sedini mungkin. Sekolah yang notabene sebagai lembaga pendidikan
formal pertama bagi seorang siswa, memiliki peran yang sangat penting mengenai
hal ini. Seperti yang juga dikatakan
oleh Pak Chaedar dalam artikel tersebut, berbagai penelitian telah menunjukkan
bahwa anak-anak usia sekolah cenderung lebih memilih untuk berinteraksi dengan
teman-teman sebaya mereka. Hal ini
mungkin disebabkan karena mereka merasa lebih nyaman untuk saling berbagi,
membantu dan juga saling menghormati satu sama lainnya.
Lalu bagaimanakah jika terdapat
pengaturan multikultural yang terjadi dalam sekolah ataupun kelas mereka? Faktanya, jika kita melihat pada sekolah
sekolah negeri, tidak sedikit juga siswa yang berasal dari latar belakang
etnis, agama dan sosial yang berbeda.
Hal inilah yang terkadang bisa menimbulkan masalah dimana pola pikir
mereka terkadang berbeda yang membuat sudut pandang mereka terhadap suatu
masalah atau suatu keadaan pun akan berbeda pula. Disinilah tugas menantang bagi seorang
guru/pendidik untuk memfasilitasi interaksi-interaksi yang terjadi antar siswa multikultural
tersebut.
Dalam artikel tersebut, Pak chaedar juga
menjelaskan bahwa di setiap mata pelajaran yang diajarkan dalam kelas, berlaku
juga indikator-indikator dari Classroom Discourse yang umumnya memiliki sifat
positif. Mendengarkan dengan penuh
perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, dan menyatakan pendapat (baik setuju maupun tidak
setuju) merupakan beberapa indikator-indikator dari wacana sipil yang harus
diterapkan dalam kelas (Classroom Discourse).
Disini siswa juga dilatih untuk mendengarkan secara aktif dengan
mempertahankan kontak mata langsung, berdiri diam dan bergiliran dalam
berbicara. Mereka juga harus
diajarkanbagaimana untuk menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik
diskusi. Dengan indikator-indikator tersebut diharapkan akan tercapailah sebuah
kompromi dengan cara yang tepat, sopan dan juga hormat.
Jika kita perhatikan pada sekolah dasar,
guru kelas memiliki fungsi untuk mengawasi siswa-siswanya hampir sepanjang
hari. Dengan begitu diharapkan guru tersebut dapat mengerti dan mengetahui
betul bagaimana karakter dari siswanya masing-masing. Harusnya mereka dapat mengetahui betul
bagaimana cara merancang dan memfasilitasi kegiatan interaksi yang dilakukan
antar sesama siswanya. Sehingga ketika siswa-siswanya
telah beranjak dewasa dan telah menyelesaikan tahap-tahap pendidikan formal,
mereka akan dengan siap memasuki dunia yang sesungguhnya dimana kemampuan untuk
berinteraksi dan menjaga hubungan baik dengan orang sekitar sangatlah penting
untuk keberhasilan mereka sendiri.
Dalam artikel yang dimuat dalam The
Jakarta Post tersebut, Pak Chaedar pun mencantumkan sebuah laporan penelitian
yang dilakukan oleh Apriliaswati (2011).
Apriliaswati menyimpulkan bahwa interaksi antar sesama rekan sebaya yang
terjadi dikalangan siswa ternyata sangat mendukung classroom discourse yang
mempunyai efek positif. Siswa harus
sering diberikan kesempatan-kesempatan untuk berinteraksi dengan satu sama
lainnya (teman sebaya) melalui tugas-tugas kelompok. Karena melalui tugas-tugas kelompok tadi
siswa dapat berlatih untuk mendengarkan dengan penuh perhatian, berdebat dengan
hormat, dan berkompromi untuk mempersiapkan mereka semua untuk hidup sebagai
anggota fungsional dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Memang, sebagai siswa SD mereka masih belum
mampu untuk memberikan alasan informasi dan bukti-bukti untuk menguatkan argumen-argumen
yang mereka keluarkan. Akan tetapi,
setidaknya mereka telah mampu untuk mengekspresikan kesepakatan (setuju) maupun
ketidaksepakatan (tidak setuju) dengan cara yang sopan. Hal inilah yang nantinya akan menjadi dasar
pembelajaran yang juga akan menjadi bekal untuk kehidupan sosial mereka di masa
yang akan datang.
Studi Apriliaswati tersebut mengajarkan
kepada kita semua bahwa pendidikan di Negara ini harus mengembangkan tidak
hanya penalaran ilmiah saja, akan tetapi juga wacana sipil yang bersifat
positif. Penalaran ilmiah memang sangat
diperlukan dalam mengembangkan warga negara yang berintelektualitas tinggi,
sedangkan kompetensi wacana sipil tadi sangatlah penting untuk menciptakan
warga negara yang beradab. Dan salah
satu indikator penting dalam wacana sipil selain interaksi antar sesama adalah
menjaga hubungan baik dan kerukunan antar umat beragama.
Ketidakmampuan dalam menjaga hubungan baik
dapat merugikan individu itu sendiri dan dapat menyebabkan timbulnya beberapa
konflik sosial dalam suatu waktu.
Buktinya? Banyak! Seperti yang
beberapa telah disebutkan oleh Pak Chaedar dalam artikelnya tersebut,
diantaranya adalah konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah
Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010) dan Singkawang (2010). Jika kita tidak bisa mengambil langkah yang
tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut, niscaya masalah-masalah seperti ini
pasti akan terulang kembali di masa-masa mendatang.
Masalah yang paling parah dan cukup mengganggu
kohesi sosial adalah kasus bom bunuh diri yang terjadi di sebuah gereja di
Surakata yang terjadi pada akhir tahun 2011 lalu. Sempat dikhawatirkan hal semacam ini akan
membuat rasa saling tidak percaya yang terjadi diantara kelompok-kelompok sosial
dan agama dalam masyarakat. Khususnya
pada agama Islam yang sering dicap sebagai agama teroris. Bahkan sempat tersebar juga isu tidak sedap
yang menyatakan bahwa akan ada balas dendam dan serangan serupa dalam
masjid-masjid. Hal-hal seperti inilah
yang akan meningkatkan ketidakharmonisan beragama. Lalu, dimana kerukunan beragama yang katanya
kita bangga-banggakan di negeri Indonesia ini?
Itulah pentingnya menanamkan sikap
tenggang rasa dan toleransi antar sesama umat manusia di muka bumi ini semenjak
usia sedini mungkin. Jika anda masih
ingat, ketika kita SD terdapat pengajaran tentang tenggang rasa dan saling
menghormati antar umat beragama dalam pelajaran PPKN atau kewarganegaraan
bukan? Itulah salah satu contoh nyata
tentang usaha penerapan wacana sipil yang positif yang salah satunya bertujuan
untuk menjaga kerukunan antar umat beragama.
Sebagai bangsa Indonesia harusnya kita
merasa bersyukur dan beruntung karena bisa hidup di negara yang nyaman, tentram
dan damai ini. Studi mengungkapkan,
Indonesia ternyata merupakan negara dengan toleransi beragama terbaik di
dunia. Orang-orang di luar sana
(negara-negara lain) sering kali menyebut dan mengenal Indonesia dengan ciri
khas orang-orangnya yang ramah, murah senyum, suka menolong dan saling menghormati
satu sama lainnya. Kerukunan antar umat
beragama di Indonesia ini sangatlah tinggi.
Bahkan hal ini pun sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 khususnya
pada pasal 29 ayat 1 dan 2. Pada ayat 1
berbunyi “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan pada ayat 2 berbunyi “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Pasal ini merupakan bentuk perlindungan
negara terhadap semua umat beragama yang ada di Indonesia. Jadi, sudah sepantasnyalah jika kita sebagai
warga negara Indonesia yang baik dan taat terhadap peraturan akan menerapkan
toleransi antar umat beragama demi terciptanya kerukunan antar umat beragama
yang kita dambakan tersebut.
Berangkat dari pasal 29 ayat 1 dan 2
itulah yang menjadi dasar pokok kerukunan umat beragama yang ada di negara
Indonesia. Dari sini pula kita bisa
melihat bentuk peneguhan dan penegasan bahwa bangsa Indonesia ini didirikan
bukan atas dasar satu agama tententu saja, melainkan juga memberikan kedudukan
yang sama dan setara bagi semua agama yang ada dan berkembang di negara
Indonesia tercinta ini.
Seperti yang telah dikatakan diatas,
Negara telah menjamin dan melindungi terhadap semua umat beragama yang ada di
Indonesia. Hal ini bisa kita lihat dalam
contoh konkretnya yaitu jika kita lihat pada kalender, terdapat banyak hari
libur dan tanggal merah untuk hari besar agama minoritas di Indonesia ini. Tidak ada pilih kasih terhadap agama islam
yang notabene sebagai agama mayoritas warga negara Indonesia. Bahkan agama Konghucu yang pengikutnya kurang
dari 0,1 persen dari jumlah penduduk Indonesia pun tetap mendapatkan jaminan
dan perlindungan dari negara ini. Tidak
hanya agama Konghucu saja, akan tetapi agama minoritas yang lain pun
mendapatkan perlakuan yang sama dari negara.
Setiap agama berhak untuk merayakan hari
suci atau hari besar agamanya masing-masing.
Tugas kitalah untuk menghormatinya demi tercapainya kerukunan antar umat
beragama. Tidak hanya kita (orang Islam)
yang bertoleransi terhadap agama minoritas lain, agama-agama lain pun harus
bertoleransi terhadap Islam. Contohnya:
bulan Ramadhan yang lalu, sebuah klenteng di Magelang menggelar acara buka
puasa bersama. Bahkan klenteng tersebut
juga membentangkan spanduk besar yang bertuliskan “selamat menunaikan Ibadah
Puasa”. Hal ini mereka maksudkan untuk
menghargai umat Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa saat itu. Mungkin akan kedengaran sedikit aneh dengan
fenomena ini, akan tetapi inilah contoh konkret dari kerukunan antar umat
beragama di Indonesia.
Ternyata klenteng di Magelang tadi bukan
satu-satunya yang melakukan hal “aneh tapi ajaib” itu. Terdapat banyak gereja-gereja yang juga
melakukan hal demikian. Salah satunya ada gereja di Bandung yang juga
mengadakan buka puasa bersama seperti halnya yang dilakukan oleh klenteng di
Magelang tadi. Tentunya hal ini membuat
kita tersenyum lega karena ternyata kerukunan umat beragama di Indonesia ini
bukan hanya sekedar wacana belaka.
Seperti halnya yang dijelaskan oleh Pak
Chaedar Alwasilah dalam artikel yang telah disebutkan diatas tadi, saya banyak
merasa sependapat dengan beliau.
Khususnya dalam bahasan yang menyebutkan bahwa sikap tenggang rasa dan
toleransi dalam umat beragama harus dipupuk kepada setiap generasi penerus
bangsa dari usia sedini mungkin. Namun,
menurut saya akan lebih baik jika Pak Chaedar tidak hanya berfokus pada
pengajaran SD saja. Bagaimana dengan
yang terjadi pada jenjang selanjutnya pada jenjang SMP dan SMA? Siswa SD yang notabenenya masih anak-anak
sebenarnya masih berfikiran tidak terlalu matang untuk kehidupan
kedepannya. Apalagi dalam artikel
tersebut lebih membahas tentang interaksi yang terjadi antar sesama siswa
(teman sebaya) yang notebene masih sama-sama berfikiran kekanakan. Akan lebih baik lagi jika interaksi yang
terjadi lebih banyak antara guru dan siswanya atau antara orang tua dan
anaknya. Intinya, akan lebih baik jika
salah satu diantara oknum yang berinteraksi tersebut merupakan orang dewasa,
sehingga jika si anak (siswa) tersebut melakukan suatu kesalahan, orang dewasa
tersebut akan mampu untuk memberikan contoh yang benarnya. Jika interaksi yang terjadi hanya antara
siswa saja (yang notabene masih sama-sama memiliki pemikiran anak kecil), lalu
siapa yang akan membenarkan atau memberikan contoh yang benar jika salah
satunya melakukan suatu kesalahan?
Memang benar, jika kita lihat rata-rata
siswa lebih merasa nyaman untuk berinteraksi dengan teman sebayanya jika
dibandingkan dengan orang dewasa lainnya.
Nah, disinilah tugas kita baik sebagai guru/pendidik, orang tua, dan
keluarga untuk membuat agar mereka bisa merasa lebih nyaman berinteraksi dengan
kita. Caranya dengan melakukan
pendekatan-pendekatan tertentu dengan siswa atau anak tersebut. Jika sudah bisa terjalinnya
interaksi-interaksi yang baik, sedikit demi sedikit kita bisa menanamkan
nilai-nilai positif yang akan menjadi bekal untuk kehidupan siswa/anak tersebut
di masa mendatang. Dan salah satu dari
nilai-nilai positif yang bisa kita tanamkan kepada mereka adalah sikap tenggang
rasa, toleransi dan menjunjung tinggi kerukunan antar umat beragama.
Jika saya menghubungkan perihal
kerukunan antar umat beragama dengan kehidupan saya sebagai mahasiswa, maka
saya merasa sangat beruntung dan bersyukur dengan tempat saya berada
sekarang. Pasalnya, saya kuliah di
sebuah Institut Agama Islam di Cirebon.
Dilihat dari namanya saja pasti bisa ditebak bahwa seluruh aspek yang
ada di dunia perkuliahan saya beragama Islam.
Hal ini tentunya menjadi nilai plus yang akan mempermudah dalam menjalin
kerukunan beragama. Namun, hal yang
harus kita sadari, menjaga kerukunan bukan hanya dilihat dari aspek agamanya
saja, akan tetapi dilihat juga dari aspek seperti budaya, etnis, latar belakang
bahkan bahasa daerah. Itulah yang
menjadi tugas kami sebagai mahasiswa untuk menjaga kerukunan dimulai dari
lingkungan terkecil yaitu lingkungan kelas yang dipakai untuk menuntut ilmu
sehari-hari.
Jika menengok dari tempat saya menuntut
ilmu yang sekarang (kuliah), saya memang berada dalam lingkungan yang terdiri
dari orang-orang dengan latar belakang agama yang sama yaitu Islam. Namun, jika menengok sedikit lebih lama
kebelakang, sebelum-sebelumnya saya pun bersekolah di sekolah umum negeri yang
notabene banyak berkumpulah siswa-siswa lain dari berbagai macam etnis, agama,
budaya bahkan bahasa. Semenjak saya SD
sampai SMA saya selalu mendapatkan teman sekelas yang diantaranya menganut
agama yang berbeda. Apakah perbedaan itu
membuat kami mengalami perpecahan dan permusuhan? Tentu saja tidak. Teman-temanku itu justru amat sangat memiliki
tenggang rasa dan toleransi tinggi sehingga perbedaan-pebedaan yang ada justru membuat
segalanya lebih indah dan penuh warna.
Ketika bulan Ramadhan tiba, saya dan
teman-teman saya yang beragama Islam menjalankan ibadah puasa. Teman-teman saya yang beragama lain
menghormati kami semua dengan cara tidak makan dan minum di depan kami yang
sedang berpuasa. Sebenarnya, tidak
menjadi masalah jika mereka tetap ingin makan dan minum seperti biasanya (tidak
perlu sembunyi dari hadapan kami yang sedang berpuasa). Akan tetapi, ketika ditanya mengapa mereka
bersembunyi dari hadapan kami yang sedang berpuasa, teman saya tersebut
menjawab, “Saya mungkin bukan orang Islam, tetapi saya tetap ingin menghormati
kalian semua yang sedang menjalankan ibadah kalian”. Lihat, betapa indahnya kerukunan beragama
tersebut, bukan? Saat mendengar jawaban
dari temanku itu, saya langsung merasa terenyuh dan mengucapkan banyak terima
kasih kepadanya.
Kerukunan yang saya alami dengan teman
saya yang berasal dari agama yang berbeda tersebut, sangat mungkin terjadi
akibat pengajaran-pengajaran yang telah kami terima semenjak bangku sekolah
dasar. Seperti dalam artikel Pak Chaedar
tadi, pertama-tama kami diberikan kesempatan untuk saling berinteraksi dengan
teman sebaya (dalam konteks ini adalah teman sekelas). Kemudian, dengan interaksi-interaksi itulah
kami dapat mengenal satu sama lainnya sehingga lama-kelamaan akan timbul rasa peduli
(respect) dan juga rasa hormat satu sama lainnya. Disamping itu, guru kami pun mengajarkan
pentingnya rasa tenggang rasa dan toleransi dengan banyak cara, salah satunya
(dan yang paling jelas) adalah melalui pelajaran kewarganegaraan. Inilah yang akan menjadi bekal kami di
kehidupan sosial di masa mendatang.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat
kita lihat bagaimana pentingnya kerukunan antar umat beragama. Kerukunan ini harus kita realisasikan agar
tidak hanya menjadi wacana belaka.
Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan kerukunan antar umat
beragama, salah satunya adalah melalui Classroom Discourse seperti yang dibahas
oleh Pak Chaedar Alwasilah.
Peran pendidik disini ternyata amat
sangat berpengaruh besar. Mereka
diberikan tugas yang menantang untuk mempersiapkan generasi muda penerus bangsa
dengan karakter-karakter yang baik yang nantinya akan menunjang mereka sebagai
warga negara demokratis sebagaimana yang telah tercantum dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional. Melalui
classroom discourse inilah siswa dilatih untuk saling menghargai sehingga sikap
tenggang rasa dan toleransi yang menjadi dasar kerukunan beragama pun akan
terbangun.
Namun, tentunya classroom discourse ini
bukanlah satu-satunya jalan membangun kerukunan antar umat beragama. Masih banyak cara lain karena yang mempunyai
pengaruh besar terhadap perkembangan seorang murid (anak) bukan hanya guru
saja. Peran orang tua, keluarga dan
lingkungan sekitar tidak kalah pentingnya dengan peran guru, malah bisa
dibilang berpengaruh lebih besar terhadap perkembangan seorang siswa
(anak). Lingkungan keluarga pada
dasarnya telah ‘mencuri start terlebih dahulu’ dalam membentuk karakter siswa
bahkan sebelum dia menginjakkan kakinya di bangku pendidikan formal. Jika sudah begini, yang bisa kita harapkan
hanyalah orang tua, keluarga dan juga lingkungan sekitar tersebut dapat
memberikan dampak-dampak positif bagi siswa tersebut. Karena jika ‘basic’nya saja sudah jelek, akan
sangat susah mengubahnya meskipun dengan classroom discourse yang secanggih
apapun.
Bagaimana cara menjaga kerukunan
beragama, itulah PR kita kedepannya sebagai generasi muda penerus bangsa. Kita harus berusaha sekuat tenaga agar
kerukunan antar umat beragama ini bukan hanya menjadi wacana semata. Ada satu pepatah jawa yang pas untuk bahasan
kali ini, “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”, yang artinya “Kerukunan
membuat kita semakin kokoh, bertengkar membuat kita hancur/rusak”. Jadi, marilah kita semua menjaga kerukunan
demi terciptanya negeri yang damai, aman, nyaman dan sejahtera.
References
Harahap, Syahrin. 2011. Teologi Kerukunan. Prenada Media.
Jakarta.
Hendropuspito, D. 1983. Sosiologi Agama Islam. Kanisius.
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar